[CubeEntFF’s Staff] Drive – part 05 (final)

Drive

I step on the pedal harder, so our memories will break away.

by Shinyoung

Main Cast: Jang Hyunseung & Kim HyunA || Genre: Romance & Sad || Length: Short-series || Rating: Teen || Credit Poster: Vincyterix at Poster Channel || Disclaimer: Cast belongs to God. No copy-paste. Copyright © 2016-2017 by Shinyoung.

Chapter 5 — Everlasting Love

1 | 2 | 3 | 4

It will be okay now,

sleepless nights because of you.

oOo

“Menikahlah denganku, Kim Hyuna.”

Bibirku langsung terkatup rapat. Kepalan tanganku yang tadinya sekeras batu langsung melemas. Jantungku berdegup kencang, napasku menderu, seolah aku tengah diajak dalam sebuah permainan menegangkan.

Wajahnya memberikan ekspresi bahwa ia sungguh-sungguh. Matanya tidak goyah sedikit pun. Meskipun lampu jalan begitu redup, aku masih bisa melihat kesungguhannya.

Aku tidak tahu harus menjawab apa.

Bukannya menjawab, kakiku justru menjawab ungkapannya, melangkah meninggalkannya sendirian. Tanpa mempedulikan panggilannya terus-menerus.

Nuna!

Panggilan Minjae pun bahkan aku abaikan. Aku langsung melangkah masuk ke dalam kamarku, membanting tubuhku ke atas tempat tidur. Sejenak, aku mengintip jendela kamarku.

Dia masih berdiri di sana. Matanya tertuju pada jendela kamarku. Dengan dingin aku beranjak dari tempat tidurku, kemudian aku menutup gorden kamarku.

 

*

 

Aku menatap langit-langit  kamarku.

Meskipun sudah 2 bulan berlalu, ucapannya terus menerus terngiang di pikiranku. Aku tidak menyangka bahwa satu kalimat itu bisa membuatku terjaga sepanjang malam. Sekeras apapun aku berusaha memejamkan mataku untuk tidur, tetap saja ucapannya seketika muncul dalam pikiranku.

Aku bahkan harus minum pil tidur agar aku tidak teringat-ingat ungkapannya hari itu. Sejak saat itu, kami bahkan tidak berhubungan sama sekali. Aku bahkan memblokir nomornya karena terus menerus menelponku, meskipun aku masih menyimpan nomornya.

Juga, aku tidak menemuinya di arena balapan. Aku masih bekerja di sana. Aku merasa hubungan ini sama seperti hubungan lainnya. Kami dahulu sepasang kekasih. Setelah putus, kami adalah orang asing.

Bagiku, privasi masing-masing bukanlah sesuatu yang harus dibagi dan diungkapkan dalam sebuah hubungan. Tidak ada gunanya jika aku menceritakan hal tersebut kepada kekasihku. Aku merasa mereka tidak akan peduli.

Jika aku menceritakan masalah keluargaku, toh mereka tidak akan benar-benar membantuku. Mereka hanya akan merasa kasihan.

Itu lah yang dulu aku pikirkan.

Namun, kenapa sekarang Hyunseung peduli padaku? Kenapa dia justru mengajakku untuk menikah? Untuk apa aku menikah dengannya? Karena cinta? Mungkin itu adalah salah satu jawabannya.

“Ah, sial. . .”

Aku terduduk di atas tempat tidurku, kemudian meraih ponselku yang berada di samping tempat tidurku. Dalam sekejap, aku menelpon nomor tersebut dan secepat kilat panggilan tersebut diterima.

“Halo,” panggilku.

“Hyuna. . .”

“Temui aku di taman di dekat rumahku dalam waktu 5 menit.”

Hyunseung berdeham sebentar. “Baiklah.”

Setelah itu aku memutuskan panggilan. Aku meraih jaketku yang tergantung di balik pintu kamarku. Kukenakan jaket tersebut, kemudian menyimpan ponselku di dalam saku jaket tersebut. Aku menarik resleting jaket tersebut sampai tertutup semua karena angin malam.

Jam dinding menunjukkan pukul 12.

 

*

 

Setibanya di sana, Hyunseung sudah duduk di salah satu bangku taman, mengenakan jaket tebal miliknya. Dia langsung berdiri saat aku tiba, namun aku memberikan isyarat padanya untuk tetap duduk, dan aku pun ikut duduk di bangku tersebut.

“Anu. . .”

Tampaknya kami berdua memang sama-sama ingin mengutarakan sesuatu. Hyunseung tampak canggung, ia menawarkan padaku untuk mengutarakannya pertama.

“Kau saja dahulu,” ujarku. “Aku tidak bisa mengatakannya sekarang.”

“Baiklah jika kau memang memaksa.” Hyunseung tersenyum. “Aku tidak tahu kenapa kau menghubungiku, tetapi aku ingin kau menjawab ajakanku 2 bulan yang lalu itu. Aku menganggap hubungan kita belum selesai. Aku juga tidak mau mengakhirinya.”

Aku terdiam. “Sebelum menjawab, aku ingin kau menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Aku bisa putuskan apakah aku harus menikah denganmu atau tidak.”

Hyunseung mengerutkan keningnya. “Menikah bukanlah sesuatu yang bisa kau putuskan dengan cara seperti itu. Intinya, kau mau menikah denganku atau tidak? Apa kau mencintaiku atau tidak? Apa kau mau hidup denganku atau tidak? Seperti janji suci yang disebutkan di altar, pertanyaan tersebutlah yang menjadi syarat dair pernikahan, Hyuna.”

“Terserah,” jawabku tanpa menatapnya sama sekali. “Kenapa kau ingin menikahiku? Kenapa kau memintaku untuk berhenti bekerja sebagai wanita bayaran?”

“Aku tidak tahu harus menjawabnya bagaimana.”

“Apa susahnya dengan menjawab?” tanyaku.

Hyunseung tertawa kecil. “Aku ingin menikahimu karena aku mencintaimu. Aku ingin kau berhenti bekerja sebagai wanita bayaran karena aku mencintaimu. Semua pertanyaan itu jawabannya adalah karena aku mencintaimu, Kim Hyuna.”

Aku terdiam cukup lama. Jantungku berdegup dengan kencang. Aku tidak tahu bahwa jawabannya bisa membuatku kembali merasakan jatuh cinta. Aku tidak mengerti dengan dirinya.

Hyunseung kembali melanjutkan, “Aku ingin aku yang memegang tanggung jawab dalam keluarga. Aku yang menafkahimu, aku akan membiayai biaya rumah sakit ibumu dan juga biaya sekolah adikmu. Aku ingin melakukannya karena aku mencintaimu.”

“Hyunseung. . . Kau tidak perlu melakukannya. Mereka bukan keluargamu,” ucapku pelan.

“Mereka akan jadi keluargaku jika kau menikah denganku.”

 

*

 

Aku terbangun ketika alarm ponselku berbunyi. Aku mengerjap beberapa kali, kemudian terduduk di atas tempat tidur. Kutarik ponselku yang berada di meja kecil di samping tempat tidurku, kemudian mematikan alarm yang terus berdering itu.

Aku menoleh ke samping, lalu tersenyum tipis.

Saat aku hendak turun dari tempat tidur, tiba-tiba ada yang menghentikan tanganku. Aku menoleh ke samping lagi, namun belum sempat aku mengeluarkan suara, tangan tersebut meraih bahuku, kemudian menarikku ke dalam pelukannya.

Ya. . .”

“Sebentar saja,” ujarnya.

Bibirku terkatup rapat. Tanpa bergeming, aku menggerakkan tanganku menuju pinggangnya, kemudian memeluknya erat. Meskipun dia baru bangun tidur, namun harum tubuhnya membuatku tersenyum.

“Hyuna,” panggilnya.

Aku mengangkat kepalaku, kemudian menatap wajahnya. Ia masih memejamkan matanya, setengah terbangun, mungkin. Namun, aku menanggapi panggilannya.

“Ada apa, Hyunseung?” tanyaku balik. “Aku harus siap-siap, kalau terlambat kau tidak akan bisa sarapan.”

“Apa aku izin saja, ya, hari ini?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuatku terkejut, aku langsung melepaskan pelukanku. Kemudian terduduk di tempat tidur, menatapnya dengan mata lebar. Ia menatapku balik, lalu tertawa kecil.

“Aku hanya bercanda,” katanya sambil kemudian memejamkan matanya, memutuskan untuk melanjutkan tidurnya. “Bangunkan aku jam 6, ya. Hari ini aku mau mengantar Hyunwoo ke sekolah.”

“Baiklah.”

Aku menarik selimut, kemudian menutupi badannya. Aku meninggalkan kamar, menuju kamar mandi. Setelah itu, aku segera menuju dapur, menyiapkan sarapan pagi—kimbap dan telur gulung kesukaan Hyunwoo.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 6, aku membangunkan Hyunseung dengan cepat, lalu Hyunwoo setengah jam kemudian. Hyunwoo yang masih bermalas-malasan, membuatku harus membangunkannya dua kali.

“Hyunwoo, ayo bangun sudah jam 7.”

Saat itu juga dia langsung bangkit dari tempat tidurnya, kemudian mengecek jam dinding, lalu segera menatapku dengan kesal karena aku membohonginya. Padahal jam masih menunjukkan pukul 6 lewat 15 menit.

“Oh, ayolah, kau sudah SMP. Tidak mungkin aku terus menerus membangunkanmu, bukan?” tanyaku sambil melipat tanganku di depan dada, menatapnya serius.

Ia memutar bola matanya, kemudian tersenyum tipis. Tiba-tiba memelukku, lalu berkata, “Baiklah, aku akan menurutimu, ibuku yang cantik.”

Ucapannya langsung membuat wajahku merona. Aku menepuk kepalanya, kemudian menyuruhnya untuk segera mandi. Jika mendengar Hyunwoo berbicara, rasanya aku seperti mendengar kloningan Hyunseung. Mereka sama-sama jago dalam membuat hatiku mencelos.

Setengah jam kemudian, kami sudah berkumpul di meja makan. Kami sarapan dengan tenang, sementara Hyunseung terus-menerus menanyakan keadaan sekolah Hyunwoo. Aku hanya tersenyum tipis mendengar pembicaraan mereka.

“Kenapa kau tersenyum?” tanya Hyunseung menangkap senyumanku.

“Ah, tidak. Aku senang kau peduli dengan kehidupan sekolah Hyunwoo. Itu saja,” jawabku sejujur-jujurnya, kemudian kembali melanjutkan makan.

Selesai sarapan, Hyunseung segera mengambil tasnya. Hyunwoo pun juga demikian, ia mengambil tas sekolahnya. Mereka berdua mengenakan sepatu, kemudian aku mengecek kembali penampilan mereka.

Aku menepuk kepala Hyunwoo. “Rajin belajar, ya.”

Hyunwoo hanya mengangguk, sementara itu Hyunseung merangkul bahu anak laki-laki itu. “Ayo, kita berangkat.”

“Ah, kau lupa sesuatu, Hyunseung,” ujarku.

Hyunseung membalikkan badannya, kemudian menatapku bingung. Aku menarik dasinya, kemudian mengecup bibirnya. Sementara itu, Hyunwoo hanya memperhatikan kami tanpa berkomentar.

“Ya ampun,” Hyunseung tertawa pelan. Ia melirik Hyunwoo, “Hyunwoo bukan anak kecil lagi, sih. Tapi tetap saja.”

Kami bertiga pun tertawa bersama.

 

✖ ✖

fin.

June 4, 2017 — 11:00 p.m.

One Reply to “”

Give us your cubes!